<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d31978585\x26blogName\x3dCORETAN+ENDANG\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dTAN\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://coretan-endang.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://coretan-endang.blogspot.com/\x26vt\x3d2253316379687411988', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

CORETAN ENDANG

Segalanya yang ingin kucoretkan.......cerita-cerita tentang kehidupan yang ada, dan tak usah risau tentang nyata atau tidak..........
 

L U K A

Thursday, April 01, 2010

Luka berjalan pergi. Dari muka rumah bercat putih dan megah yang tak kunjung muncul penghuninya untuk menemuinya. Pembantu di rumah itu tadi mengatakan nyonya majikannya sedang di kamar entah melakukan apa. Tetapi setengah jam berlalu untuk Luka duduk menanti, nyonya rumah itu tak kunjung tampak. Nyonya rumah, yang temannya sendiri.

Luka tahu bahwa mungkin saja temannya itu sedang sibuk. Tetapi kepekaan dirinya saat ini dan aturan yang dia miliki tentang cara menghormati tamu yang datang telah membuatnya merasa ditolak. Semenjak kecil, Luka diajarkan oleh ibunya untuk meninggalkan semua yang sedang dikerjakannya ketika tamu menanti di muka rumah. Tamu seperti raja yang harus dihormati kehadirannya, kalaupun tidak untuk disembah. Jika tamu dibiarkan menanti terlalu lama, akan menjadi pertanda tak tertulis bagi tamu itu bahwa sang pemilik rumah tidak menyukai kehadirannya. Maka begitulah Luka pergi dari sana.

Ia berjalan terus berteman keringat dan ramainya benak tentang segala sesuatu. Jarak rumah tadi dengan jalan raya memang sungguh jauh. Tetapi Luka lebih senang berjalan pelan dan mengacuhkan para tukang ojek yang menawarkan jasanya. Dengan matahari dan sedikit angin, dia cuma berharap apa yang dilakukannya mampu membuat galau hatinya pergi. Berlabuh dalam lautan kalimat dan lukisan yang hanya dilihat mata batinnya sendiri. Hitungan lembaran yang tak seberapa di kantongnya juga menjadi alasan penguat meski masih mencukupi untuk sekedar mengganti bensin motor para pengojek tadi.

Di ujung jalan, Luka berhenti dan menghembuskan nafas panjang. Matanya lurus, tapi sebaiknya jangan ada yang bertanya tentang apa yang dilihatnya saat itu. Tak ada apa-apa. Kosong. Luka justru sedang memandang ke dalam hati dan benaknya sendiri. Bertanya sendiri, tentang tujuan kakinya kemudian. Juga tentang keinginan hatinya.

Pandangan orang dari sudut pandangnya sendirilah yang membuatnya tak mau berlama-lama mematung disana. Yah, Luka memang manusia yang merasa harus membuat nyaman orang lain meski belum tentu tuntutan itu selalu ditujukan kepadanya. Maka, pengojek yang kesekianlah yang mendapat rejeki lembaran dari sakunya. Ke sebuah tempat.

Bersandar di sebuah pohon dan terlindung dari mata-mata yang ingin tahu tentang maksud keberadaannya disana. Diambilnya telepon genggamnya dan memandangi layar yang tak menunjukkan satu pun panggilan untuknya. Bahkan dari sang teman pemilik rumah yang baru saja didatangi lalu ditinggalkannya tanpa sempat ada pertukaran mata apalagi kata. " Dia bahkan tidak merasa kehilangan tamu", bisiknya sendiri entah pada makhluk mana di sekitarnya.

Ada sesuatu rasa tak nyaman mencekat tenggorokannya dan membuat udara tak bebas mengalir disana. Entah bagaimana paru-parunya bertahan dalam keadaan itu. Matanya perih karena menolak kodratnya yang ingin meluapkan hempasan gelombang hibah dari dada yang terlalu sesak. Buat Luka, kesulitannya dengan lembaran menipis dan berjuta halangan untuk mendapatkan pekerjaan bukanlah sesuatu yang ingin dirutuki siang malam. Semuanya hanya ujian seperti juga tiap menit dalam kehidupan manusia lain. Bahkan tertawa pun juga sebuah ujian untuk mengetahui kemampuan manusia menghentikan tawa itu sendiri. Hanya soal waktu untuk sampai pada akhir pergulatan mengatasi persoalan. Tetapi wajah teman yang berpaling darinya, adalah sesuatu yang berbeda dan membuat semua ujian yang dihadapinya seperti ditulis dalam tinta tebal.

Tak ada maksud Luka mengemis dan menadahkan tangan pada sang pemilik rumah itu. Luka hanya mencatat orang itu sebagai teman karibnya, dimana dia kira bisa menitipkan beberapa goresan catatan kehidupannya agar tak menumpuk dan membuatnya menjadi bebal. Atau gila. Ya, Luka hanya ingin bercerita. Tetapi pintu itu tertutup sejak huruf pertama yang sempat Luka ucapkan beberapa minggu lalu. Dia paham, harta karibnya mungkin terlalu berharga baginya. Sedangkan Luka juga tak mengingininya. Dia hanya membutuhkan telinga yang mampu mendengar.

Luka menghembuskan nafasnya, lebih berat dari biasa. Diam dan menunduk.
"Manusia, adalah makhluk paling kreatif yang pernah ada. Dia bahkan mampu menciptakan prasangka yang sebetulnya tak ada", diulang-ulangnya kalimat itu dalam hatinya.
Matahari mulai memerah tubuhnya ketika Luka berdiri dan tersenyum dalam airmata yang tak terbendung. Luka tak punya jawaban untuk banyak pertanyaan. Tetapi dia punya gaung dalam benaknya yang terus bersuara," ...aku merasa berat dengan persoalanku ketika tak ada hati dan telinga untukku.....maka inilah ujianku yang sebenarnya..."

Dan Luka berjalan lagi. Pulang. Dia tidak lagi mencari arah dimana ada telinga tersedia baginya. Luka hanyalah Luka yang harus menjalani dunia dengan apa adanya.....

Perempuan Pendiam dan Menyimpan Bara

Thursday, August 20, 2009

Kunti termangu saja. Diam.
Merenung namun nyatanya toh tak ada buah yang dapat dipetik dari pohon benaknya. Kosong juga tidak. Jika di kepala ini terdapat pusaran, maka pastilah pusaran itu akan sangat berbahaya hingga segala yang berenang melewatinya tak mungkin selamat melenggang menjauh dari pusatnya. Begitu dalam dan keras berputar, hingga keruh.

"Apa yang sudah kau lakukan? Benarkah ..... apa yang kudengar di luar sana?....Maaf, maafkan aku bertanya begini"

Pertanyaan itu dilontarkannya satu bulan yang lalu. Kaku, dan memaksakan keberanian. Pertanyaan itu seperti sebuah dongakan tinggi kepalanya kepada raja yang berdiri di hadapan. Tindakan yang tak pernah dia kenal dalam sejarah hidupnya bersama orangtua dan kini Brata, suaminya. Tetapi kepala itu menegak sendiri. Terdorong arus liar dalam darah yang memagma, terlalu kuat untuk dibendung. Dan ludah yang ditelannya berulangkali untuk meredam arus itu nyata-nyata tak kuasa menahan panasnya magma dalam darahnya. Dan lehernya tegak begitu saja tanpa dia perintahkan pada syaraf.

Kicau burung pagi itu biasa. Tetapi ketika kicaunya tak berhenti dan semakin ramai di siang hingga malam di seluruh penjuru kota, maka burung-burung ini pasti dari jenis yang berbeda. Suaranya riuh, dan terlalu riuh tak menyisakan sedikit hening untuk Kunti memejamkan mata sejenak saja. Riuh, dan langsung menyayat hati. Tentang Putri yang lain yang ingin mencari atap yang sama dengannya. Tentang Pangeran pelindungnya yang lemah hati. Tentang sebuah wangi yang tak wangi sama sekali bagi indera penciumannya sendiri.

" Tidak ada cerita itu. Tidak pernah ada, dan tidak akan pernah ada", begitu tegas Brata.
Suaranya tegas dan keras. Mantap, dengan nada dalam yang dulu menarik Kunti ke bawah atap ini.
" Burung selalu berkicau sendiri dengan nada yang dia ciptakan sendiri", lagi Brata berkata.

Kunti mengerjap. Dia ingin memastikan apa yang dia lihat. Dalam kerjapan matanya yang berulangkali, tak sekalipun bersilang pandang dengan mata Brata. Sebuah pandangan yang dia nantikan, karena dia memegang dua pusaka lelaki itu, suara mantap dan pandangan mata. Kunti hanya memegang satu. Dan dia memilih untuk berjalan membelakangi Brata.

Gusti.....ketika pusaka ini hanya satu, apakah harus runtuh tiang penyangga atap?
Gusti.....jantungku seolah berlari tanpa penunjuk arah sedang aku terus bermohon padaMu.....

*****

" Saya seorang istri, ibu......"
" Lalu bagaimana? "
Perempuan tua itu bertanya lembut. Hatinya dia tata rapi, sekukuh pengalaman hidup yang banyak membaca tanda. Jantung tuanya cukup kuat untuk menerima dentang lonceng yang memekakkan, hanya karena mata tuanya begitu tajam melihat gerak rumput tertiup angin.
" Saya tak mungkin untuk tidak mempercayai mas Brata di kesempatan pertama. Hati perempuan seringkali membutakan. Itu saja yang saya waspadai. Saya tak ingin buta tanpa sebab"
" Dan bagaimana denyut hati membawamu selama itu?"
" Selalu bertentangan dengan keinginan saya. Dia sudah buta sekarang. Hingga saya tak mampu berpikir"

Hening. Dua perempuan terdiam dan larut dalam genangan benak masing-masing. Di tiap persimpangannya, genangan-genangan itu mencoba saling menyentuh dan bertaut.

" Lembut, tak berarti kamu menjadi tak mampu untuk tegak. Bukanlah dosa ketika kamu menjawab persoalan hidupmu sendiri, Nak...."

Kunti mengangguk sekali dan tertunduk.

*****

Hari ini Brata akan datang. Pesawat terakhir dari Bali, dan seperti biasa tak ingin dijemput.
Brata tak tahu, Kunti memang tidak sedang menjemput. Dia tak melihat Kunti. Namun Kunti melihat bagaimana Brata berjalan menggenggam tangan mulus yang tak dikenalnya. Bukan sanak atau kadang, tetapi keakrabannya sangat nyata. Bahkan rasa sayang begitu nyata di genggaman itu. Ketika taksi yang membawa Brata berlalu, Kunti pun meminta taksinya berlalu. Langsung menuju rumah. Jam 8 malam saat itu.


Jam 12 tengah malam. Ranjang itu sudah tertata rapi dan bersih. Bunga mawar merah ditaburkan di atasnya. Perlakuan istimewa malam ini.

" Maaf Kunti, pesawatku tertunda keberangkatannya. Macet pula dalam perjalanan ke rumah. Kamu lelah ya?"
" Sudah biasa, mas.....tidak apa"
" Hmmmm....istimewa sekali kau menyambutku. Ranjang ini wangi dan indah. Bunga-bunga yang kau taburkan, mengingatkan malam pertama kita 20 tahun lalu".
" Ya mas....segeralah berbaring. Bisa kulihat kelelahanmu bekerja. Mudah-mudahan tidurmu nyenyak dengan kenangan indah tentang 20 tahun lalu itu".

Brata bersiap. Duduk di tepi ranjang dan sesaat kemudian memiringkan tubuh untuk berbaring. Kunti melepaskan sepatunya, dan diletakkan rapi di kaki ranjang. Kunti berjalan mendekati tubuh Brata. Mengusap pelan wajahnya.

Dan hitungan waktu berjalan lambat kemudian. Brata terbaring tak bergerak. Tubuhnya kaku menegang. Merah menggenangi seprai bersih. Mawar-mawar itu pun basah dan lengket. Kunti hanya berdiri diam mematung. Tangannya memegang pisau. Pisau yang sama yang membawanya luruh, bertimpuh merah di atas tubuh suaminya.

Jam 1 malam sekarang. Rumah itu sunyi ..
..............

Tangis Darah Susu

Wednesday, January 07, 2009

Masih kutatap jalan itu, kutatap dengan linangan
Terseok....dan gundah bukan kepalang
Ya kawan.....tak mampu kuungkapkan raungan suara menggema
Mengaduk segala yang ada dan telah kutata rapi
Masih selalu koyak benang-benang tipisnya.

Aku masih menangiiiiis.....dengan sejuta galon airmata yang bercampur darah
Dan sedikit susu yang selalu kupuja.

Rasanya aku benar kemarin,
tapi sesungguhnya hatiku tak pernah mempercayai kebenaran yang kuajarkan padanya.

Aku masih terjatuh dan periiiihhhh...........
Tapi tahukah kau, bahwa mungkin surga menantimu disana
Dan disana pula aku dapat bergelung sesukaku dengan apapun yang ku sentuh
saat ini....aku belum terlalu dewasa............

Aku belum dewasa...ya.....
Karena aku masih tidak mengerti bagaimana merawat diriku dan lukaku.
Karena aku terlalumenggenggam cinta itu...

Nem

Saturday, December 13, 2008

Nem belum juga mau beranjak meninggalkan kantornya meski waktu sudah melarut. Pukul 20.00, dan Cindy temannya menemani dengan wajah yang mulai menampakkan rasa jenuh.

" Ayolah Nem....memangnya kamu nggak capek? Aku cukup kenal kamu, semua pekerjaan itu hanya kamu cari-cari".
" Lalu....kenapa Cin? Besok libur, aku cuma nggak mau ketika Senin masuk lagi begitu banyak pekerjaan memburu."
" Itukan alasanmu. Coba lihat mataku............ada apa lagi? Masih meributkan soal nama dengan ibumu?"

Nem menjatuhkan laporan yang dipegangnya keras-keras ke meja. Pelan, matanya mencari mata Cindy. Nafasnya panjang, dan matanya hampir berair.
" Baiklah........tapi masih mau temani aku mencari kopi?"

*****

Nem dan Cindy mengambil tempat di sudut cafe, dekat dengan air mancur tapi pangan ke meja itu tertutupi oleh rimbunnya daun pohon-pohon sekitar kolam. Nem memesan kopi dengan ukuran besar.

Mereka bicara apa saja, tapi tidak tentang Nem. Mereka membahas banyak masalah, tapi tidak tentang sesuatu yang mengganggu simpul-simpul syaraf Nem. Dan hanya dia yang tahu persis kelebatan lukisan di simpul-simpul syaraf itu.

Tepat sebelum akhirnya mereka hendak beranjak pulang menjelang tengah malam, Cindy cuma berkata," Banyak masalah pelik kamu selesaikan di kantor. Entah bagaimana kamu bisa sehebat itu, Nem. Karena itu jabatanmu lebih tinggi dari aku, Senior Quality Manager. Tapi mungkin kamu juga terlalu pandai hingga masalah namamu ini saja tak bisa kamu pandang sebagai sesuatu yang sederhana. Konfliklah kamu dengan ibumu. Buka hatimu, Nem...."

*****
Sepanjang malam itu setelah dalam hitungan minggu ketegangannya dengan ibu dimulai, Nem mengambil sikap seperti yang dikatakan Cindy. Membuka hati, menghirup banyak-banyak udara yang dia butuhkan untuk merasakan sesuatu yang lebih lembut. Lebih peka.

Saat Nem merebahkan diri di sofa ruang tamu, dan ibunya mendekat. Duduk dekat kepala Nem berada, karena memang ingin mengelusnya. Perempuan itu kecil, sangat sederhana. Rambutnya hanya digelung kecil, pakaian masih bertahan dengan rok terusan model tahun 60an, sikap tubuh sedikit bungkuk dan cenderung tampil tidak percaya diri serta penuh ragu canggung.

" Ndak tidur tho, cah ayu? Ini hampir pagi lho...."
" Bu, apa yang membuat ibu melarang aku ganti nama?", jawaban Nem untuk pertanyaan perhatian ibunya.

Perempuan itu diam sesaat, sudah tahu hal ini yang membuat putrinya tidak tidur.

" Ibu ndak nglarang kok, nduk....cuma sedih".
" Buat Nem kesedihan ibu sama artinya Nem sebaiknya nggak usah melakukan."

Tangan kecil keriput itu terus menyusuri rambut Nem....lembut. Nafasnya pun terdengar pelan dan tidak sedikit ada gejolak emosi seperti miliknya.

" Aku pakai nama Nem supaya tidak terlalu kentara bu, kalau namaku Painem. Hidup di Jakarta, jabatanku tinggi, kolegaku banyak orang asing. Sehari-hari aku pakai alat-alat canggih untuk bekerja, berbahasa asing, bepergian keliling dunia....duh ibuuu, ibu ngerti nggak gimana risihnya aku. Kadang yang baru tahu namaku kaget, aku pura-pura nggak memperhatikan".

Tangan kecil itu terus membelai dan tidak sedikitpun berhenti.
Sampai Nem selesai meluapkan bongkahan batu dalam dadanya, tak secuit suara perempuan kecil itu menyela.

" Nem....nduk, kancamu kuwi, siapa namanya?"
" Cindy...kenapa bu?"
" Ndak kok. Dia anak buahmu yo? "
" Iya.....tapi aku kan nggak ngomongin dia tho bu. Aku cuma........."

Tiba-tiba, Nem merasa tak perlu melanjutkan kalimatnya. Tatapan mata ibunya dalam. Sangat dalam dan Nem seolah tersentak. Ada sesuatu yang bersinar di dalam kepalanya kini, titik yang mulai ditangkap maknanya.

" Ibumu ini cuma wong ndeso. Ndak ngerti nama-nama yang katanya mengandung doa. Tapi nduk.....nek kamu percaya.......Gusti Allah mungkin sudah bosan ndengar doa ibu yang isinya cuma tentang kamu. Dan hasilnya ya kamu sekarang, seperti yang kamu cerita tadi. Piye, nduk?"

Nem cuma membuka dan menutup mulutnya, tapi tak satu kata ada. Tanpa dia sadari, air bening meluncur deras dari matanya. Dia mengerti, sangat mengerti.

" Ibu ndak melarang, nduk.....ibu sayang kamu", sembari jarinya menghapus air bening yang serupa di matanya sendiri.

Ketika ibunya meninggalkannya sendiri, ada yang bergaung di benaknya. Perlukah dia berkeras hati?

Selendang Merah Astari

Tuesday, November 04, 2008

Astari menajamkan telinganya, memiringkan kepala dan segala upaya. Sayup, dia menangkap suara mengalun seperti yang selalu diakrabinya berpuluh tahun. Dari beranda kecil di penginapan puncak gunung Bromo, suara itu begitu menggelitik. Membangunkan sukma yang terpendam di tahun-tahun belakangan ini laksana asap yang entah darimana kayubakarnya berada. Membumbung makin tinggi hingga memasuki penciumannya yang meradang memerah . Karena asap sukma, karena tangis yang tiba-tiba muncul mencuat.


Tapi dia tak puas. Sendiri berlari di gelap malam berkabut mencari gelombang suara itu. Dalam radar hatinya yang tak mampu berjalan wajar, dia kira bisa mengenali gelombang suara yang tak berwujud itu untuk menuntunnya pada sebuah tempat. Tempat yang dia bayangkan akan membuatnya menatap kotak-kotak bermuatan bilah besi dengan manusia-manusia memainkan besi-besi itu. Ji, ro, mo, nem ji, pi,lu…..sebuah pendopo dengan temaram lampu teplok dan para niyogo memukul gamelan.


“ ….asalnya dari balai desa. Ini malam jumat, warga kampung di desa ini biasa memainkannya tiap bulan pada malam jumat tertentu untuk manembah. Begitulah cara mereka manembah, dengan kidung-kidung seperti yang kau dengar. Aku sempat bertanya pada bapak-bapak di turunan itu waktu menyusulmu kesini.“


Pracahyo telah berada di sampingnya dan memberinya sesuatu yang dia tanyakan dalam hati. “ Tempatnya jauh dari sini, tapi keheningan tempat ini membuat suaranya mampu menembus kabut “, lanjut suaminya itu lagi. Astari tak berucap. Lidahnya memang tak mampu menari meski jemarinya mulai ngithing sejak tadi. Dia palingkan wajahnya dari wajah suaminya, kembali pada hamparan luas di depannya yang dia sendiri tak menyadari ada apa di depannya. Apa yang tak disadari dilihatnya mewakili hatinya. Entah apa di dalam dia bahkan tak tahu. Mungkin kosong. Dan airmata itu, entah darimana datangnya.


“ Dingin sekali, masuk angin kamu nanti”, sahut Pracahyo lagi dengan lengannya menggamit pundak Astari membawanya kembali ke bungalow mereka malam itu. Dia ingin tinggal dulu disana, tapi Pracahyo selalu mengajarinya untuk terus berada dalam tataran logika bagaimanapun perasaannya berjalan. Dan logika itu menang, karena tak ada alasan yang baik untuknya tetap di tepi sawah itu seorang diri. Ya, sawah luas yang baru terpampang jelas di matanya saat langkah kakinya mulai mengikuti suaminya kembali ke bungalow. Kesadarannya kembali.


*****


“ Kamu bisa kembali kapan saja kamu mau “.

Astari masih terdiam. Cangkir kopinya hampir tandas, dan itu cangkir kopinya yang kedua. Selama itu suaminya bicara, yang dia lakukan hanya menyesap kopi sedikit demi sedikit, sejak masih mengepul hingga terasa pahitnya ketika mulai dingin. Gorengan yang dia buat sebagai hidangan sore pun tak disentuh. Matanya menatap kedua putranya bermain bola di lapangan depan rumah.


Semua berbaur jadi satu dan dia lalui seolah tanpa rasa. Ucapan Pracahyo, tendangan bola anak-anak di lapangan, riuh suara bersorak, atau sapaan tetangga yang berlalu dengan balasan senyum tipisnya saja. Keheningan dalam hatinya terlalu menyelimuti hingga ia tak pekak sedikitpun oleh kebisingan nyata di sekitarnya. Yang dicarinya hanya satu, apa rasa yang dia miliki sekarang. Jika ia terpaksa bicara, tak mungkin mereka mengerti apa yang dia bicarakan. Dengan bahasa apa dia harus bicara. Bahasa yang puitis, terlalu absurd untuk dunia percakapan. Bahasa lugas, tak mampu mewakili apa yang dia punya dalam hati. Mungkin akan butuh kalimat-kalimat panjang bahasa lugas untuk membuat orang lain membaca dan mengerti perasaannya. Dan semua ucapan Pracahyo itu, lagi-lagi hanya tataran logika. Sebuah dunia solusi yang tak ingin berlayar dalam kegamangan tak tentu arah. Sebuah ujung dari seutas tali rasa yang ingin segera dituntaskan. Sesuatu hal yang selalu ingin dilakukannya kecuali untuk hal yang satu ini.


Tak mendapat tanggapan, Pracahyo hanya menatapnya dengan senyum. Lekat. Di menit terakhir dia tersenyum, tinggallah sebuah kesimpulan dari mulutnya,“ Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri…….”. Pracahyo berlalu, dunianya terus berputar dengan wajar. Dan putarannya saat itu sedang tiba di waktu mandi sore.


Sesungguhnya Pracahyo memang mengerti apa yang sedang terjadi dengan Astari. Suaminya itu tentu saja mengikuti dan memahami drama apa yang membuat istrinya jatuh begitu dalam di pusaran perasaan yang berlarut. Tapi inilah dua dunia yang berhadapan di depan matanya dan seringkali memisahkan mereka untuk sesaat.


Dunia lelaki, dunia perempuan. Dunia lelaki yang tak menyukai kegelisahan ketika dia mengerti apa yang harus dilakukan untuk memangkas kegelisahan itu. Dunia perempuan yang mengerti apa yang harus dilakukan namun melibatkan berbagai unsur hanya untuk memperindah hidup. Astari kadang memang geli sendiri menyadari keanehan perempuan menyiksa diri berenang-renang dalam kegelisahan dan mengatakan begitulah indahnya hidup. Astari bahkan kerap mentertawai kaumnya sendiri untuk keanehan itu. Dan kini dia harus mentertawai dirinya sendiri karena dia juga menenggelamkan diri di kolam yang serupa. Tertawa pahit dan asin dengan segala warna airmata yang sempat tercecap oleh lidah kelunya. Dan karena dia sedang gila karena merasa gelisah itu indah, maka film itu diputarnya lagi dalam benaknya.


*****


Ruangan itu begitu riuh. Setiap sudutnya terisi sosok-sosok sibuk yang melakukan berbagai gerakan dan aktifitas. Fokusnya hanya satu, semua kegiatan di ruang itu adalah untuk sebuah perhelatan besar. Astari, ada disana dan menjadi bagian kecil untuk mewujudkan perhelatan besar itu sebaik-baiknya. Upacara pernikahan yang didukung oleh kekerabatan erat, adalah upacara pernikahan yang tak kan mungkin terlupakan. Dan karenanya Astari senang mewujudkannya untuk sahabat baiknya. Astari dan keluaraga besarnya.


“ …….Tolong ambilkan kain itu….Dimana daftar acaranya…..Aaahh, jariku tertusuk jarum….wah, mengapa alisku tak seperti biasa……..”…….dan terus, terus….. gegap gempita dengan suka senang panik dan berdebar.


“……siapa lagi yang belum selesai……..halooo, ini ada perias yang kosong ….haloooo, boleh aku dulu disanggul?.......Astariiii, kemari sebentar…….Astariiiii, kok kamu belum kesini?......Astariiii……..”

“ Astari masih sibuk, tau nggak !!!!!!!! “ Blllaaarrr…………..


Kesunyian lalu hadir tak jelas darimana. Petir itu sudah menyambar. Tanpa hujan. Dan suara petir itu membuat tangan Astari gemetar. Lututnya juga gemetar. Tak berdaya dan tak juga bias memutuskan, berlari, membentak mulut yang mengeluarkan petir, atau mendekap seorang wanita di seberang ruangan itu. Wanita tua dimana rahimnya pernah dia huni selama sembilan bulan. Wanita tua yang mengalirkan air susu untuk mulut Astari kecil. Wanita tua yang saat itu begitu pias dengan keterkejutan yang sama dengan Astari karena perlakuan petir yang tak mengenal hujan dan panas. Dan tak ada kata menyesal.


Dan bulan-bulan setelahnya berlalu dengan peluh Astari di waktu malam beriringan mimpi buruk yang terus hadir………..menyamai langkahnya meninggalkan gelanggang yang diakrabinya hampir separuh umurnya.


*****


“ Jadi……tidakkah kamu akan hadir lagi di gelanggang itu, Astari?”, begitu tanya yang selalu dia dengar. “ Tidakkah kamu rindu dengan selendang merahmu?”


Cuma senyum yang selalu dia berikan pada setiap pertanyaan itu. Senyum yang dia tahu tidak akan mengobati luka. Senyum yang dia pelajari sebagai bahasa dengan banyak makna. Sedangkan tak ada kamus yang sanggup menjelaskan maknanya dengan tepat.


Astari tahu, dia hanya sanggup bicara pada hatinya sendiri.


“Aku rindu, dan hatiku berdarah

Aku cinta tanpa henti tapi tak penting

Selendang merahku adalah sejarah panjang……

Sepanjang ketika ia dibentangkan

Sehalus ketika ia disibakkan

Dan serapuh ketika ia terlalu sering melenggang,

seiring irama mengalun

Maka cintaku tak sesakral air susu…………”

 
   





© 2006 CORETAN ENDANG | Blogger Templates by Gecko & Fly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to Make Money Online at GeckoandFly